Senin, 27 Oktober 2014

CERPEN ;)



LUKISAN UNTUK BANGSA
Oleh Nova Tri Lestari*


 “Di mana cat air milikku, Yah? Dari tadi ku cari tapi tidak ada!” tanya Apin setengah berteriak. Maklum hari ini, ia harus buru-buru ke sekolah. Akan diadakan lomba melukis antar kelas di sekolahnya. Apin mewakili teman-temannya untuk mengikuti lomba melukis.

“Cari dulu yang benar,” sahut ayahnya dari ruang makan.
“Sudah dicari Yah tapi tidak ada,” ujar Apin dengan wajah kesal.
Ayahnya segera mengambil tas untuk berangkat ke kantor.
            “Tolong Yah, ayah jangan berangkat dulu bantu Aku mencari cat air milikku Yah,” ucap Apin dengan sangat memohon.
            “Kamu cari dulu nak ayah harus buru-buru ke kantor. Hari ini ayah ada meeting.”
Setelah beberapa menit mencari, cat airnya tidak juga ditemukan. Apin berangkat ke sekolah tanpa membawa cat air milikknya. Apin menarik nafas dalam-dalam saat melewati pintu gerbang sekolahnya. Detak jantungnya semakin meledak-ledak ketika ia melangkahkan kaki ke dalam kelasnya.
Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu, memenangkan perlombaan itu merupakan tekadnya. Ini adalah kesempatan bagi Apin untuk memperbaiki kembali nama baiknya yang sempat tercoreng moreng. Cat air Apin yang menghilang membuat ia berpikir bahwa perlombaan ini sebuah malapetaka baginya.
Apin di panggil pak Juki ke kantor, pak Juki adalah wali kelas Apin. Yang Pak Juki tahu Apin ini murid yang paling malas mengerjakan tugas-tugas sekolah. Teman-teman Apin yang meyakinkan pak Juki bahwa Apin sebenarnya sosok yang pandai  melukis.
Awalnya Apin adalah murid yang pintar, terbukti dari hasil ujian tengah semesternya yang pertama, ia mendapat peringkat pertama di kelasnya. Setelah ibunya meninggal akibat dari kecelakaan prestasinya menurun mungkin karena kurangnya kasih sayang dari seorang ibu, ditambah lagi ayahnya selalu sibuk dengan urusan kantor.
Apin segera menuju kantor, sebelum sampai ke kantor ia banyak mendapat dukungan dari teman-temannya. Setelah sampai di depan pintu kantor

“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Silahkan masuk.”
“Gimana sudah siap untuk lomba siang nanti?”
“Apin kehilangan Cat air milik Apin pak.”
“Lho, jadi kamu tidak mau ikut lomba ? kenapa kamu tidak bilang dari kemarin kan bapak bisa pilih teman kamu yang lain!”
“Maafkan Apin pak.”
“Ya sudah, silahkan kembali ke kelasmu ! Dari awal bapak sudah tidak yakin denganmu.”
Apin keluar dari kantor segera menuju koperasi sekolah untuk membeli cat air malangnya, cat air sudah habis.
Saat perlombaan dimulai Apin hanya bisa menyaksikan betapa semangat teman-temannya yang mengikuti perlombaan itu, ia yang seharusnya berada ditengah-tengah peserta malah duduk di barisan penonton. Batinnya merasa sangat tertekan, belum lagi ia harus menerima cemoohan dari teman-temannya.
Sembari menunggu pengumuman, masing-masing siswa boleh kembali ke kelas. Teman-teman Apin sangat kecewa, di kelas Apin dijauhi bahkan di gunjing terus-terusan. Belum lagi hati wali kelas Apin yang sekeras batu membakar suasana.
Gagah pak Juki berdiri di hadapan Apin. Mukanya merah padam, urat-uratnya menonjol di lehernya. Dengan kasar Apin disuruhnya pergi dari hadapannya. Air mata Apin berlinang mengiringi deru langkah kakinya yang semakin jauh meninggalkan kelas. Tetesan air mata keluar basahi pipinya tidak membuat iba hati sang wali kelas, tetapi semakin menyalut kemarahan yang sudah sampai ke ubun-ubun.
Dalam sekejap peristiwa itu langsung tersebar ke seluruh penjuru sekolah. Seperti udara kabar itu bebas bergerak kemana saja, masuk ke dalam telinga siapa saja. Bahkan semua guru-guru mengetahuinya.
Siang itu udara panas, pengumuman pemenang pun diumumkan di lapangan. Apin dan semua teman-temannya berkumpul di lapangan sinar matahari membuat tubuhnya merasa gerah.
“Alangkah segarnya bila kerongkongan ini disiram dengan segelas air es,” ucapnya dalam hati.
Bel pulang pun berbunyi, Apin menjajaki jalan untuk kembali kerumah.
Senja memerah, kumandang adzan pun berbunyi. Apin segera bangun mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadha sholat maghrib, ia menunggu ayahnya pulang tapi ayahnya tak kunjung datang.
Seusai sholat maghrib terlintas di benak Apin akan kemarahan pak Juki. Kemarahan itu seakan membakar hatinya dan meninggalkan butiran-butiran debu. Seketika ia tersadar dikejutkan suara dari luar.
“Ayah pulang”
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah” teriak Apin.
“Lho kenapa Pin?”
“Ayah Apin takut”
“Sudah jangan takut lagi ini ayah bawakan cat air yang baru. Ayah minta maaf karena sebenarnya cat air milikmu, sudah Ayah kasih pada anak pamanmu nak”
“tidak apa-apa kok yah, tadi di sekolah anak paman menang dalam kompetisi itu, aku juga ikut senang”
Aku tertidur lalu terbangun, kulihat ke arah jam ternyata jarumnya sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku mendengar ayah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
“Kenapa ayah tidak membangunkanku, kenapa ayah sholat terlebih dahulu ? Biasanya ayah selalu sholat bersamaku”
Ku langkahkan kakiku ke belakang untuk mengambil air wudhu. Setelah selesai aku mencurahkan seluruh isi hatiku pada Allah. Ayah memanggilku untuk sarapan pagi.
Pagi ini aku berangkat ke sekolah diantar ayah.
Debaran jantung ku semakin menjadi-jadi ketika kulangkahkan kakiku untuk memasuki area kelas. Pak juki tak memandangku sama sekali. Dia menyebut-nyebut namaku. Aku menundukan kepala.
“APIN ! ” ucapnya dengan nada tinggi.
“Masalah apalagi yang aku perbuat Ya Allah,” gumamku dalam hati.
Aku menghampirinya. Aku sungguh terkejut ketika ia menawarkanku untuk mewakili teman-teman menjadi relawan, entah malaikat apa yang menghampirinya. Ia menawarkanku untuk mengikuti lomba melukis mewakili kabupaten, setelah lulus tahap kabupaten lanjut ke tahap provinsi sampai tahap terakhri dan ikut serta dalam Pameran Nasional.
“Perlombaan ini mencari relawan yang bisa memberikan sebagian hadiahnya pada orang-orang miskin. Jikalau kamu menang, hadiahmu lima puluh persen kamu sumbangkan dengan penduduk miskin yang ada di sekitarmu, lima puluh persennya lagi baru untukumu” tuturnya dengan nada lembut.
“Tentu Ini kesempatan bagiku, tapi apa aku bisa memenangkan perlombaan ini ke tahap provinsi?” aku kembali bergumam dalam hati. Di rumah ku ceritakan semua pada Ayah. Ayah menyetujuinya bahkan Ayah bilang jikalau aku menang nantinya seluruh hadiahku boleh disumbangkan. Sebagai gantinya ayah akan memberikanku sejumlah tabungan dengan nominal yang besar, yang nantinya cukup sampai aku dewasa.
Aku berusaha semampuku, kucoba lukis negeri ini dengan tema negeriku yang indah. Semua keindahan laut, pegunungan, pantai semakin meledakkan imajinasaiku. Langsung ku utarakan semua isi hatiku melalui sebuah tinta yang membasahi selembar kertas putih.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari balik pintu kamarku. Perlahan kubuka pintu kamar, Alangkah terkejutnya ketika aku melihat sosok pak Juki yang berdiri dihadapanku. “Apa yang akan dia lakukan disini?” tanya relung hatiku.
“Tenanglah nak, bapak hanya ingin berkunjung padamu.” Ujarnya.
Perlahan aku menenangkan hatiku, kuajak pak Juki masuk. Kulanjutkan lukisanku yang belum separuh jalan. Ia terus mengawasiku membuatku bertekad untuk memenangkan perlombaan ini. Semangatku semakin menggebu-gebu. Tak sampai satu jam ia mengawasiku ia pamit pulang.
“Besok bapak tunggu, kamu juga harus siap mempresentasikan lukisanmu ini”
Di sekolah, pak Juki sudah menunggu ku di gerbang, kami langsung berangkat ke provinsi mewakili kabupaten.
Hatiku mulai menggebu kembali. Di siniku temukan macam-macam kreasi lukisan, rasanya aku ingin pulang. Aku tahu aku tidak mungkin memenangkan perlombaan ini. Rasa cemas inilah yang tampaknya tengah menggoda dan membuat galau hatiku.
Dengan nomor urut pertama aku dan pak Juki tampil kembali dihadapan orang-orang hebat, semua mata tertuju pada kami, satu senyum Juri mengawali langkah kami, satu tepukan tanda semangat dari pak Juki di pundakku membuat aku percaya diri tampil dihadapan banyak orang. Aku merasa aku telah menguasai semua audience.

Saat pengumuman tiba. Sungguh tak kuduga Nomor urut satu menjadi Juara satu. Yang aku dengar mereka hanya menyebutkan Juara satu, ternyata sekaligus Nomor urut satu.
“ALLAHUAKBAR . . . ALHAMDULILAH . . . ,”teriak pak Juki sambil menghela nafas. Sementara aku masih tidak percaya berdiri dalam diam tanganku langsung ditarik pak Juki ke atas panggung. Sebab sebahagia apalagi, sedamai mana lagi, yang mampu mengegelorakan jiwa tautan rasa kalau bukan memenangkan perlombaan ini.
Piala itu aku genggam dengan sangat eratnya tak mampu rasanya untukku lepaskan lagi. Dengan hati yang sangat gembira nominal yang kudapat sangat besar nilainya Rp.250.000.000.00, liburan ke bali dan mengikuti pameran nasional. Semua orang-orang hebat berjabat tangan denganku.
Ucapan selamat dan genggaman yang sangat erat kudengar dari orang yang terakhir. Sosok itu datang dengan mengenakan topi namun aku tetap mengenalinya.
“Ayahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh,” teriakku sambil merangkulnya. Lalu aku berangkat ke Pameran Nasioanal. Lukisanku dihargai dengan nominal Rp.750.000.00 di Pameran Nasional,
Setelah pameran itu banyak yang ingin memajang lukisanku. Lukisanku di lelang dengan harga yang paling tinggi. Setelah pulang ke Desa nominal yang ku bawa pulang sekitar tujuh miliar.
Semua ku sumbangkan ke rakyat-rakyat jelata di kampungku, dalam bentuk sembako dan amplop. Ayah, pak Juki dan teman-temanku ikut bangga. Andai ibuku masih ada pasti ibu sangat bangga.

0 komentar:

Posting Komentar