LUKISAN
UNTUK BANGSA
Oleh Nova Tri Lestari*
“Di mana cat air milikku, Yah? Dari tadi ku
cari tapi tidak ada!” tanya Apin setengah berteriak. Maklum hari ini, ia harus
buru-buru ke sekolah. Akan diadakan lomba melukis antar kelas di sekolahnya. Apin
mewakili teman-temannya untuk mengikuti lomba melukis.
“Cari
dulu yang benar,” sahut ayahnya dari ruang makan.
“Sudah
dicari Yah tapi tidak ada,” ujar Apin dengan wajah kesal.
Ayahnya
segera mengambil tas untuk berangkat ke kantor.
“Tolong Yah, ayah jangan berangkat
dulu bantu Aku mencari cat air milikku Yah,” ucap Apin dengan sangat memohon.
“Kamu cari dulu nak ayah harus
buru-buru ke kantor. Hari ini ayah ada meeting.”
Setelah beberapa menit mencari, cat airnya tidak
juga ditemukan. Apin berangkat ke sekolah tanpa membawa cat air milikknya. Apin
menarik nafas dalam-dalam saat melewati pintu gerbang sekolahnya. Detak
jantungnya semakin meledak-ledak ketika ia melangkahkan kaki ke dalam kelasnya.
Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu,
memenangkan perlombaan itu merupakan tekadnya. Ini adalah kesempatan bagi Apin
untuk memperbaiki kembali nama baiknya yang sempat tercoreng moreng. Cat air
Apin yang menghilang membuat ia berpikir bahwa perlombaan ini sebuah malapetaka
baginya.
Apin di panggil pak Juki ke kantor, pak Juki adalah
wali kelas Apin. Yang Pak Juki tahu Apin ini murid yang paling malas
mengerjakan tugas-tugas sekolah. Teman-teman Apin yang meyakinkan pak Juki
bahwa Apin sebenarnya sosok yang pandai melukis.
Awalnya Apin adalah murid yang pintar, terbukti dari
hasil ujian tengah semesternya yang pertama, ia mendapat peringkat pertama di
kelasnya. Setelah ibunya meninggal akibat dari kecelakaan prestasinya menurun
mungkin karena kurangnya kasih sayang dari seorang ibu, ditambah lagi ayahnya
selalu sibuk dengan urusan kantor.
Apin segera menuju kantor, sebelum sampai ke kantor
ia banyak mendapat dukungan dari teman-temannya. Setelah sampai di depan pintu
kantor
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Silahkan masuk.”
“Gimana sudah siap untuk lomba siang nanti?”
“Apin kehilangan Cat air milik Apin pak.”
“Lho, jadi kamu tidak mau ikut lomba ? kenapa kamu tidak
bilang dari kemarin kan bapak bisa pilih teman kamu yang lain!”
“Maafkan Apin pak.”
“Ya sudah, silahkan kembali ke kelasmu ! Dari awal
bapak sudah tidak yakin denganmu.”
Apin keluar dari kantor segera menuju koperasi
sekolah untuk membeli cat air malangnya, cat air sudah habis.
Saat perlombaan dimulai Apin hanya bisa menyaksikan
betapa semangat teman-temannya yang mengikuti perlombaan itu, ia yang seharusnya
berada ditengah-tengah peserta malah duduk di barisan penonton. Batinnya merasa
sangat tertekan, belum lagi ia harus menerima cemoohan dari teman-temannya.
Sembari menunggu pengumuman, masing-masing siswa
boleh kembali ke kelas. Teman-teman Apin sangat kecewa, di kelas Apin dijauhi
bahkan di gunjing terus-terusan. Belum lagi hati wali kelas Apin yang sekeras
batu membakar suasana.
Gagah pak Juki berdiri di hadapan Apin. Mukanya
merah padam, urat-uratnya menonjol di lehernya. Dengan kasar Apin disuruhnya
pergi dari hadapannya. Air mata Apin berlinang mengiringi deru langkah kakinya
yang semakin jauh meninggalkan kelas. Tetesan air mata keluar basahi pipinya
tidak membuat iba hati sang wali kelas, tetapi semakin menyalut kemarahan yang
sudah sampai ke ubun-ubun.
Dalam sekejap peristiwa itu langsung tersebar ke
seluruh penjuru sekolah. Seperti udara kabar itu bebas bergerak kemana saja,
masuk ke dalam telinga siapa saja. Bahkan semua guru-guru mengetahuinya.
Siang itu udara panas, pengumuman pemenang pun
diumumkan di lapangan. Apin dan semua teman-temannya berkumpul di lapangan
sinar matahari membuat tubuhnya merasa gerah.
“Alangkah segarnya bila kerongkongan ini disiram
dengan segelas air es,” ucapnya dalam hati.
Bel pulang pun berbunyi, Apin menjajaki jalan untuk
kembali kerumah.
Senja memerah, kumandang adzan pun berbunyi. Apin
segera bangun mengambil air wudhu untuk melaksanakan ibadha sholat maghrib, ia
menunggu ayahnya pulang tapi ayahnya tak kunjung datang.
Seusai sholat maghrib terlintas di benak Apin akan
kemarahan pak Juki. Kemarahan itu seakan membakar hatinya dan meninggalkan butiran-butiran
debu. Seketika ia tersadar dikejutkan suara dari luar.
“Ayah pulang”
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah” teriak Apin.
“Lho kenapa Pin?”
“Ayah Apin takut”
“Sudah jangan takut lagi ini ayah bawakan cat air
yang baru. Ayah minta maaf karena sebenarnya cat air milikmu, sudah Ayah kasih
pada anak pamanmu nak”
“tidak apa-apa kok yah, tadi di sekolah anak paman
menang dalam kompetisi itu, aku juga ikut senang”
Aku tertidur lalu terbangun, kulihat ke arah jam
ternyata jarumnya sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku mendengar ayah melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur’an.
“Kenapa ayah tidak membangunkanku, kenapa ayah
sholat terlebih dahulu ? Biasanya ayah selalu sholat bersamaku”
Ku langkahkan kakiku ke belakang untuk mengambil air
wudhu. Setelah selesai aku mencurahkan seluruh isi hatiku pada Allah. Ayah
memanggilku untuk sarapan pagi.
Pagi
ini aku berangkat ke sekolah diantar ayah.
Debaran jantung ku semakin menjadi-jadi ketika
kulangkahkan kakiku untuk memasuki area kelas. Pak juki tak memandangku sama
sekali. Dia menyebut-nyebut namaku. Aku menundukan kepala.
“APIN ! ” ucapnya dengan nada tinggi.
“Masalah apalagi yang aku perbuat Ya Allah,” gumamku
dalam hati.
Aku menghampirinya. Aku sungguh terkejut ketika ia
menawarkanku untuk mewakili teman-teman menjadi relawan, entah malaikat apa
yang menghampirinya. Ia menawarkanku untuk mengikuti lomba melukis mewakili
kabupaten, setelah lulus tahap kabupaten lanjut ke tahap provinsi sampai tahap
terakhri dan ikut serta dalam Pameran Nasional.
“Perlombaan ini mencari relawan yang bisa memberikan
sebagian hadiahnya pada orang-orang miskin. Jikalau kamu menang, hadiahmu lima
puluh persen kamu sumbangkan dengan penduduk miskin yang ada di sekitarmu, lima
puluh persennya lagi baru untukumu” tuturnya dengan nada lembut.
“Tentu Ini kesempatan bagiku, tapi apa aku bisa
memenangkan perlombaan ini ke tahap provinsi?” aku kembali bergumam dalam hati.
Di rumah ku ceritakan semua pada Ayah. Ayah menyetujuinya bahkan Ayah bilang jikalau
aku menang nantinya seluruh hadiahku boleh disumbangkan. Sebagai gantinya ayah
akan memberikanku sejumlah tabungan dengan nominal yang besar, yang nantinya
cukup sampai aku dewasa.
Aku berusaha semampuku, kucoba lukis negeri ini
dengan tema negeriku yang indah. Semua keindahan laut, pegunungan, pantai
semakin meledakkan imajinasaiku. Langsung ku utarakan semua isi hatiku melalui
sebuah tinta yang membasahi selembar kertas putih.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari balik pintu
kamarku. Perlahan kubuka pintu kamar, Alangkah terkejutnya ketika aku melihat
sosok pak Juki yang berdiri dihadapanku. “Apa yang akan dia lakukan disini?”
tanya relung hatiku.
“Tenanglah nak, bapak hanya ingin berkunjung
padamu.” Ujarnya.
Perlahan aku menenangkan hatiku, kuajak pak Juki
masuk. Kulanjutkan lukisanku yang belum separuh jalan. Ia terus mengawasiku
membuatku bertekad untuk memenangkan perlombaan ini. Semangatku semakin
menggebu-gebu. Tak sampai satu jam ia mengawasiku ia pamit pulang.
“Besok bapak tunggu, kamu juga harus siap
mempresentasikan lukisanmu ini”
Di sekolah, pak Juki sudah menunggu ku di gerbang,
kami langsung berangkat ke provinsi mewakili kabupaten.
Hatiku mulai menggebu kembali. Di siniku temukan
macam-macam kreasi lukisan, rasanya aku ingin pulang. Aku tahu aku tidak mungkin
memenangkan perlombaan ini. Rasa cemas inilah yang tampaknya tengah menggoda
dan membuat galau hatiku.
Dengan nomor urut pertama aku dan pak Juki tampil
kembali dihadapan orang-orang hebat, semua mata tertuju pada kami, satu senyum
Juri mengawali langkah kami, satu tepukan tanda semangat dari pak Juki di pundakku
membuat aku percaya diri tampil dihadapan banyak orang. Aku merasa aku telah
menguasai semua audience.
Saat pengumuman tiba. Sungguh tak kuduga Nomor urut
satu menjadi Juara satu. Yang aku dengar mereka hanya menyebutkan Juara satu,
ternyata sekaligus Nomor urut satu.
“ALLAHUAKBAR . . . ALHAMDULILAH . . . ,”teriak pak
Juki sambil menghela nafas. Sementara aku masih tidak percaya berdiri dalam
diam tanganku langsung ditarik pak Juki ke atas panggung. Sebab sebahagia
apalagi, sedamai mana lagi, yang mampu mengegelorakan jiwa tautan rasa kalau
bukan memenangkan perlombaan ini.
Piala itu aku genggam dengan sangat eratnya tak
mampu rasanya untukku lepaskan lagi. Dengan hati yang sangat gembira nominal
yang kudapat sangat besar nilainya Rp.250.000.000.00, liburan ke bali dan
mengikuti pameran nasional. Semua orang-orang hebat berjabat tangan denganku.
Ucapan selamat dan genggaman yang sangat erat
kudengar dari orang yang terakhir. Sosok itu datang dengan mengenakan topi
namun aku tetap mengenalinya.
“Ayahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh,” teriakku sambil
merangkulnya. Lalu aku berangkat ke Pameran Nasioanal. Lukisanku dihargai
dengan nominal Rp.750.000.00 di Pameran Nasional,
Setelah pameran itu banyak yang ingin memajang
lukisanku. Lukisanku di lelang dengan harga yang paling tinggi. Setelah pulang
ke Desa nominal yang ku bawa pulang sekitar tujuh miliar.
Semua ku sumbangkan ke rakyat-rakyat jelata di
kampungku, dalam bentuk sembako dan amplop. Ayah, pak Juki dan teman-temanku
ikut bangga. Andai ibuku masih ada pasti ibu sangat bangga.
0 komentar:
Posting Komentar